Minggu, 27 Juli 2014

IDUL FITRI: DIRI YANG BARU

Alhamdullillah, Ramadhan telah dilewati dengan sepenuh usaha untuk dapatkan yang terbaik. Melewati Ramadhan tentulah dengan perasaan bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena telah berusaha lakukan semua ibadah wajib dan sunat dengan sebaik-baiknya. Sedih karena tak ada jaminan bahwa kita akan bertemu Ramadhan lagi.

Inilah perjalanan hidup manusia, kita semua. Lewati waktu, terus maju, tak akan pernah kembali. Dan tak pernah tahu dimana,kapan dan dengan cara apa kita akan finis, stop. Yang pasti adalah, saat Ramadhan berlalu, kita semakin dekat lekat erat dengan maut. Waktu sungguh menggerogoti kita bagai ular menelan kodok, pelan, dikit-dikit, tapi sangat pasti.

Ramadhan mestinya telah menumbuhkan kebiasaan untuk menahan diri. Menahan diri memiliki banyak perujudan praktis. Pertama. Mampu mengendalikan dorongan atau impuls-impuls liar yang berasal dari dalam diri.

Pada banyak ayat dalam Al Qur'an dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, suka berkeluh kesah, tidak bersyukur, gampang melupakan nikmat yang diberikan padanya, dan memiliki kecondongan untuk mengikuti dorongan ke arah sebaliknya dari kebenaran. Adam adalah contoh terbaik. Ia diberi kesempatan di syurga bersama istrinya dengan satu syarat tidak mendekati sebatang pohon. Namun, syetan menggelincirkannya, ia tergoda untuk melanggar aturan. Itulah contoh dorongan liar dalam diri manusia.

Arthur Schopenhauer, filsuf Jerman menjelaskan bahwa manusia dikendalikan oleh kehendak buta. Kehendak yang paling utama adalah kehendak untuk hidup. Pemikiran ini memengaruhi Nieztsche yang melahirkan kehendak untuk berkuasa, dan Sigmund Freud yang merumuskan adanya pemikiran bawah sadar. Keseluruhannya menunjuktegaskan bahwa manusia dikendalikan kehendak kuat yang irrasional, yang mengalahkan dan mengendalikan pemikiran rasional logis.

Kehendak buta inilah yang selalu menggelapkan mata hati dan mata fikiran manusia yang mendorongnya untuk berbuat kekhilafan dan kesalahan. Puasa Ramadhan bertujuan membangun kesadaran manusia tentang bagaimana caranya kendalikan diri, kehendak dan dorongan-dorongan liar itu dengan cara mengalami sendiri menahan diri dalam rentang waktu yang panjang. Bukan saja mengendalikan diri dengan cara menarik jarak dari dorongan untuk makan dan minum. Pun mengendalikan mata, telinga, lidah, dan fikiran-fikiran yang tak pantas. Bila dorongan liar itu menyelinap, kita bisa bilang, aku berpuasa. Kendali diri ini tentulah bermakna jika dapat dilanjutkan pada kehidupan keseharian di luar Ramadhan.

Kedua, mampu menjaga keseimbangan diri. Puasa Ramadhan mengharuskan kita untuk mengubah pola makan minum dan istrihat serta beraktivitas. Keharusan ini membuat kita melakukan sejumlah penyesuaian diri dan melakukan perencanaan dan pelaksanaan secara cermat berbagai aktivitas dengan memertimbangkan kondisi tubuh yang memang berbeda dari biasanya. Pastilah kita tidak boleh menjadikan puasa sebagai alasan untuk tidak beraktivitas seperti biasa.

Namun, biasanya kita menjadi lebih sadar diri untuk menempatkan dan menjalankan berbagai aktivitas dengan cara yang berbeda dari biasanya. Karena kita tak ingin puasa terganggu, aktivitas seperti kewajiban bekerja dan sekolah atau kuliah tetap berjalan, dan berbagai aktivitas ibadah tambahan juga bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Keseluruhan pola baru inilah yang membuat kita sangat memerhatikan porsi, proporsi, dan kalkulasi baru yang memungkinkan semuanya dapat berjalan dengan selaras. Dari hari ke hari selama Ramadhan, kita terus mencari dan menjalani keseimbangan diri, menjadi lebih hati-hati dalam menata semua aktivitas. Karena kita ingin kewajiban-kewajiban rutin yang memang harus dipenuhi dapat terus berjalan bersamaan dengan sejumlah ibadah tambahan yang juga membutuhkan waktu, tenaga dan konsentrasi. Kita akan mencari, merumuskan dan menjalani suatu keseimbangan diri yang jarang dirasakan di luar Ramadhan.

Bila menggunakan model psikologi humanistik dari Carl R. Rogers dan Maslow, Ramadhan membuat kita mampu menata keseimbangan untuk memenuhi semua kebutuhan secara lebih proposional dengan memberi lebih banyak perhatian pada kebutuhan tingkat tinggi yaitu aktualisasi diri dan spiritualitas. Kebutuhan yang sering terabaikan di luar Ramadhan, terutama spiritualitas.

Ketiga, kemampuan untuk konsisten dan memiliki daya tahan jangka panjang. Kemampuan ini merupakan buah dari kemampuan menahan diri. Ramadhan dengan puasa, taraweh, tadarus dan amalan lain memberi kesempatan pada kita untuk mengalami secara langsung praktik-praktik ibadah yang berkelanjutan dalam rentang waktu yang panjang. Apalagi bila berkesempatan untuk i'tikaf di masjid, larut dalam kesyahduan zikir, pastilah daya tahan itu semakin baik. Menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan dan menurunkan nilai puasa saja pasti menumbuhkan sikap konsisten. Apalagi bila diperkaya dengan semua ibadah sunnah yang makin mendekatkan diri pada Sang Khalik, pastilah membangun kesadaran mendalam bahwa hidup kita ada dalam tilikan dan perhatian penuh Sang Pemberi Hidup.

Kesadaran akan kehadiran Yang Maha Ada ini sungguh akan membuat kita menjadi diri yang baru. Diri yang semakin konsisten dalam kebenaran dan kebaikan, dalam situasi apapun.

Pada tingkat tertentu rasa kehadiran inilah yang membuat Rabiah el Adawiyah berdoa, bila aku beribadah pada-Mu karena takut pada neraka-Mu, masukkan aku ke situ, bila aku beribadah karena inginkan Syurga-Mu, jangan biarkan aku masuk ke dalamnya. Namun, bila aku beribadah pada-Mu karena cintaku pada-MU, biarkanlah.

Puasa Ramadhan membuat kita lebih awas dan hati-hati karena rasa kehadiran ini. Inilah akar dari konsistensi dan daya tahan jangka panjang itu.

Keempat, fokus. Rangkaian ibadah selama Ramadhan karena berlangsung relatif sepanjang hari selama satu bulan membuat kita fokus. Tidak sedikit di antara kita yang menyisihkan lebih banyak waktu untuk melakukan ibadah seperti tadarusan dan i'tikaf di masjid, juga menambah shalat-shalat sunnat. Semuanya membuat kita lebih fokus.

Kini sudah semakin terbukti melalui berbagai penelitian ilmiah bahwa kondisi fokus merupakan prasyarat bagi manusia untuk sukses mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Para peneliti dalam neurosains yang secara khusus meneliti otak bahkan berani menyimpulkan bahwa fokus adalah syarat mutlak bagi kesuksesan dalam segala bidang kehidupan. Golleman yang sangat terkenal dengan buku Kecerdasan Emosional, membuat buku khusus tentang Fokus dan fungsinya dalam hidup manusia, terutama terkait dengan kesuksesan hidup.

Oleh karena puasa Ramadhan berlangsung selama satu bulan, semua ibadah yang kita lakukan dengan khusuk atau fokus itu pastilah membawa sejumlah perubahan di dalam otak kita. Perubahan-perubahan itu terkait dengan sejumlah kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Berbagai perubahan di dalam otak itulah yang membuat kita menjadi diri yang baru. Bahasa hadis untuk diri yang baru ini adalah seperti bayi yang baru dilahirkan.
Dengan demikian secara sederhana bisa disimpulkan, bila tidak terjadi perubahan dalam hidup dan kebiasaan ke arah yang lebih baik setelah kita melewati Ramadhan ini, maka bisa dipastikan ada yang tidak beres dengan diri kita saat melakukan semua ibadah itu. Bisa jadi kita tidak sungguh-sungguh, tidak ikhlas, dan sekadar menjalankan ibadah minimal karena tidak enak dengan lingkungan sosial. Jadi, ibadah tidak dilakukan dengan niat yang benar dan dilakukan seadanya saja. Sekedar bayar hutang, tanpa penghayatan mendalam, sehingga tidak memberi bekas dakam sistem otak. Inilah orang yang setelah letih berpuasa hanya mendapatkan lapar dan haus, tak lebih dan tak kurang.

Bila ibadah Ramadhan dilakukan dengan benar, saat idul fitri kita sungguh menjadi diri yang baru. Dalam konteks ini baju baru, dan cat rumah serta perhiasan rumah yang baru, serta semua kebaruan yang lain sama sekali tak penting.

Diri yang baru itu bukan saja sebuah perubahan yang melulu bersifat internal yang terjadi di dalam diri. Perubahan di dalam diri itu juga membawa pengaruh yang sangat jelas keluar diri, kepada sesama. Ini terjadi karena hakikinya manusia itu bersifat intensional, mengarah keluar. Manusia adalah makhluk yang keberadaannya selalu bermakna ada bersama.

Selama Ramadhan kita dianjurkan dan didorong untuk peduli dan berbagi. Kebanyakan dari kita memang melaksanakannya dengan banyak cara. Ini bermakna Ramadhan memang secara sekaligus menumbuhmekarkan keshalehan pribadi dan sosial.

Seberapa besar keberhasilan kita merubah diri menjadi diri yang baru selama Ramadhan, indikatornya adalah hari-hari yang merentang setelah Ramadhan. Ibarat telepon genggam yang diisi ulang, begitulah Ramadhan mengisi ulang dan memperbarui kita. Seberapa besar energi yang kita dapatkan, semuanya tergantung seberapa besar kapasitas diri kita masing-masing menyerap energi itu.

Bila kita mampu menyerap lebih banyak energi kebaikan selama Ramadhan, boleh jadi ia akan bertahan sampai datang Ramadhan berikutnya. Artinya kita tetap berbuat baik, dan meyebarkan kebaikan itu terus menerus.

RAMADHAN SUNGGUH MEMBERI KESEMPATAN PADA SETIAP INDIVIDU MENJADI DIRI YANG BARU SAAT IDUL FITRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd